“ Everybody is a genius. But if you judge a fish by its
ability to climb a tree, it while live its whole life believing that it is
stupid.” -Albert Einstein
Can’t agree more with Einstein said.
Masing-masing dari kita ini genius. Genius itu bukan makanannya para profesor dan kaum
intelek saja. Kita semua genius. Tapi kebanyakan dari kita ga sadar, kita
terlalu sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain.
Memang, kita semua seperti terjebak didalam sebuah lingkaran
hitam sistem pendidikan yang kurang mendukung. Misalnya saja konsep Ujian
Nasional. Ga mungkin dong ratusan ribu siswa diukur minat dan kemampuannya
hanya dengan 4-6 pelajaran? Ya mungkin yang di tes adalah pelajaran-pelajaran
dasar. Tapi apa semua siswa menguasai pelajaran tersebut. Bagaimana dengan
mereka yang sukanya seni atau olahraga? Kita
ga bisa menilai siswa yang minat dan kemampuannya di musik dengan kemampuannya
dalam memecahkan soal matematika. Sama dengan apa yang di ibaratkan Einstein.
Kita ga bisa dong men-judge ikan yang ga bisa manjat pohon, padahal kemampuan
terbaiknya itu berenang.
Anggapan bahwa kelas IPA lebih baik dari IPS itu juga kuno. Gue dulu malah ga akan bisa kalau mau masuk IPS karena nilai IPS gue kecil dibanding IPA. Ya mau gimana, gue ga doyan sama yang namanya hafalan. Yang amat disayangkan kebanyakan orang tua ingin anaknya masuk IPA. Memang sih, kalau kita masuk dikelas IPA, ketika hendak melanjutkan kuliah banyak jurusan yang dapat kita pilih dibandingkan dengan IPS. Tapi yang jadi masalah itu kalau si anaknyam emang ga minat ke IPA. Mereka jadi susah nangkep pelajaran, tertinggal daripada temannya yang lain, dapat nilai kecil. Lalu orang tua si anak menyalahkannya, dikarenakan kurang giat belajar. Ga adil kan.
Menurut gue sih harusmya pendidikan di sekolah itu lebih menekankan kepada moral, akhlak, memancing kreatifitas siswa, mengerucutkan minat si anak agar ia fokus mengembangkan minatnya tersebut. Bersosialisasi dengan sesama manusia maupun dengan alam. Konsepnya sih yang basic-basic aja. Tapi kuat. Mengakar.
Secara ga sadar mindset kita sewaktu sekolah itu selalu setuju, bahwa yang paling pinter dikelas adalah ia yang paling jago matematika. Dimata murid punya nilai matematika yang bagus itu “gengsi”nya lebih besar ketimbang nilai pendidikan agamanya. Mungkin itulah cikal bakal banyaknya korupsi di Indonesia. Kita selalu percaya bahwa Indonesia itu punya banyak orang yang pintar, tapi ya gitu.
Konsep yang kaya gini juga yang “menjebak” kita untuk menjadi karyawan selamanya. Gue pernah berbincang dengan Fatur teman gue semasa SMA sekaligus temen maen band. Waktu itu gue diajak ke kedai seorang kawannya yang ia kenal lewat Komunitas Tangan Di Atas. Sebuah komunitas entrepreneur. Disana kita ngebahas tentang dasar-dasar langkah untuk memulai menjadi seorang entrepreneur. Menurut dia, semakin tinggi jenjang pendidikan yang kita ambil semakin sulit kita memutuskan untuk menjadi seorang entrepreneur. Ya coba deh kalian yang udah lulus S1, kepikiran ga sih buat usaha? J Kebanyakan dari kita setelah lulus pasti tujuannya adalah cari kerja yang gajinya menurut kita layak. Paling cuma beberapa yang mutusin jadi entrepreneur.
Emang sih ga mungkin juga kan semua rame-rame jadi entrepreneur. Ada yang bakatnya jualan, ada yang bakat ngajar jadi guru, jadi musisi? :) Tiap orang punya minat dan kemampuan atas kapasitasnya masing-masing. Ya paling tidak apa yang kita jalani sekarang adalah apa yang menjadi minat dan kemampuan kita sesuai dengan kapasitasnya. Ukuran apakah kita sedang berada di “track” yang benar adalah: Ketika kerja, ga banyak ngeluh. Enjoy.
Wakakakak sebenernya itu gue banget. Ini tulisan dibuat sebagai peringatan buat gue juga sih. Bahwa gue udah ga cocok dengan apa yang gue kerjain sekarang. Apa yang membuat gue bertahan tidak lain hanyalah rasa syukur :) Gue cuman memposisikan diri gue sendiri untuk hati-hati di “track” dan sigap dalam melihat rambu-rambu peringatan.
Gue selalu percaya bahwa kalau kita jeli, setiap orang itu selalu punya poin plus dibanding orang lain berdasarkan kapasitasnya. Misal, ada orang yang pinter dalam hal pelajaran tapi orangnya garing dan kutu buku, jangan lantas kamu jauhin. Siapa tau dia bisa bantu kamu belajar bareng kalau kamu mentok. Atau kamu pasti pernah liat orang yang ga jago-jago dalam pelajaran, tapi temennya banyak dan dia populer. Perhatiin bagaimana ia berkomunikasi, perhatiin gimana dia bisa narik perhatian, bagaimana dia bercanda. Cewek cerewet tapi kamu bisa mintain pendapat tentang fashion terbaru. Cewek pendiem yang ternyata wawasannya luas karena suka baca buku. Cowok culun tapi ngerti banget tentang komputer. Cowok jorok dan kucel tapi jago banget maen musik. See? :)))
Bertemanlah dengan yang kutu buku sampai ke playboy kampus. Dari yang polos sampai yang kacrut. Dari yang hobi minum sampai yang hobi ngaji.
Setiap orang itu spesial. Tentu saja juga punya kekurangan. Tapi kita bisa ngambil poin-poin yang baik dari mereka kan?

Iya! Bener.. :))
Sama kaya sepakbola yang ditiap posisi mempunyai tugasnya masing-masing. Hidup pun begitu.
Kamu ga bisa bilang Tuhan itu ga adil hanya karena kamu
seorang buruh dan tetangga kamu seorang manager kaya raya. Sama halnya dengan
orang tua kita dulu yang memberi uang jajan kakak kita yang dibangku kuliah 30
ribu sedangkan kita yang kala itu masih SMA hanya 15 ribu. Lantas apa orang tua
kita telah tidak berlaku adil?
Kita hanya menjalankan peran dari Tuhan, berdasarkan ikhtiar yang kita lakukan bersesuaikan dengan kapasitas :)
Seperti layaknya sebuah tim sepak bola. Seharusnya manusia
pun begitu. Bergerak dalam tim, menjalankan posisi terbaik, memerankan tugasnya
dengan konsistensi, menopang satu sama lain untuk membobol gawang lawan.
Terlepas dari siapapun yang mencetak gol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar